Keraton Cirebon

DI KOTA Cirebon, situs bersejarah yang pantas dikunjungi adalah dua istana bersaudara, yaitu Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman.

Berdasarkan catatan sejarah, ketika Sunan Gunung Jati masih hidup, Cirebon hanya memiliki satu keraton. Namun, setelah meninggal, keraton berhasil dipecah menjadi dua oleh Belanda. Keraton pertama yang ada adalah Keraton Kasepuhan.

Memasuki kawasan Keraton Kesepuhan, Anda akan disambut sebuah gerbang yang terbuat dari bata merah bertingkat. Bagian depan keraton ini biasanya dinamakan dengan Siti Hinggil atau tanah tinggi, yang menghadap langsung ke arah lapangan tempat dulunya pasukan keraton berkumpul.

Setelah melewati Siti Hinggil yang berbentuk gerbang dan pagar panjang, bangunan lainnya yang menarik adalah Mande Semar Sunando. Bangunan ini terbuat dari kayu. Dulunya dijadikan sebagai tempat duduk para penasihat keraton. Bangunan ini memiliki dua tiang berukir yang melambangkan kemakmuran.

Tanda kejayaan keraton di zamannya, bisa dilihat dengan banyaknya keramik China dari Dinasti Ming yang ditempelkan pada dinding, mulai gerbang paling depan, hingga bagian dalam keraton.

“Keramik China melambangkan bahwa hubungan keraton Cirebon dulunya dengan China sangat baik. Bahkan, salah satu istri Sunan Gunung Jati adalah putri China,
Keraton Kasepuhan dibangun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Kejayaan keraton ini juga terlihat dengan sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan, begitu indah dan dibangun 1549.

Keraton ini juga memiliki kereta kencana yang dikeramatkan. Kereta itu bernama Singa Barong. Sejak 1942, kereta ini tidak dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan tiap 1 Syawal untuk dimandikan.

“Kereta kencana Singa Barong ini telah memiliki teknologi yang menarik, seperti jari-jari roda dibuat melengkung ke dalam, agar air dan kotoran tidak masuk ke dalam kereta.

Jika Keraton Kasepuhan terasa begitu megah dan cukup terawat, tidak demikian dengan Keraton Kanoman. Kesan terlupakan terasa di Keraton yang dibangun 1662 oleh Amangkurat I tersebut. Untuk memasuki keraton ini, pengunjung harus masuk dari Pasar Kanoman. Bahkan, kekokohan gerbang dengan tinggi lebih dari empat meter, terasa sia-sia dengan banyaknya becak dan warung kaki lima, yang mangkaldi bawahnya.

Kesan suram tersebut sedikit berubah menjadi lebih baik ketika memasuki gerbang keraton di bagian dalam. Identik dengan warna merah muda, gerbang utama keraton menjadi simbol kejayaan Kanoman di masa lalu. Hampir sama dengan Keraton Kasepuhan, Kanoman juga memajang puluhan piring antik dari Dinasti Ming di gerbang utamanya. Namun sayang, banyak yang hilang dan dicongkel pencuri benda-benda antik sehingga banyak bagian gerbang yang berlubang.

“Pendopo di Keraton Kanoman dinamakan Pendopo Pujinem dengan 17 tiang, ada juga ruang khusus bernama Rabayaksa,

Dalam sejarahnya, Keraton Kanoman lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata anom yang berarti “muda”. Terbelahnya kekuasaan keraton di Cirebon dilambangkan dengan dua keraton, Kasepuhan dan Kanoman.

Sejarah Keraton Kasepuhan

Keraton Kesepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang Menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kesepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati Berasal dari nama Ratu Ayu Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.

Akhirnya beliau wafat pada tahun 1549 didalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa dalam keadaan yang sangat tua, dari pengorbanan tersebut akhirnya nama beliau di abadikan dan dimulyakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kesepuhan.

Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.

Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.

Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.

Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.

A.Pengertian dan Peranan Keraton Kesepuhan terhadap pemeliharaan kebudayaan di Cirebon

Pada abad ke-15, pangeran Cakrabuana Putra Mahkota Pajajaran membangun keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati, Istri dari sunan Gunung Jati, maka keratonnya di sebut Keraton Pakungwati. Sejak didirikannya Keraton Kanoman pada tahun 1679 oleh Sultan Anom I, Maka semenjak itu Keraton Pakungwati bergelar Keraton Kesepuhan.

Keraton Kesepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna disetiap sudut Arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.

Keraton memiliki musium yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang di keramatkan yaitu Kereta Singa Barong. Kereta Singa Barong saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 syawal untuk di mandikan.

Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih, didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.

Lokasi bangunan Keraton Kesepuhan membujur dari utara ke selatan atau menghadap ke utara, karena keraton-keraton di Jawa semuanya menghadap ke utara artinya menghadap magnet dunia, arti falsafahnya sang raja mengharapkan kekuatan.

Sebagai pusat dakwah Islam, keraton memegang peranan yang sangat vital, ini jelas terlihat dari sejarah yang menyebutkan bahwa Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) selain berperan sebagai seorang sultan, beliau juga adalah seorang hakim atau Qadi. Ajaran agama Islam yang di bawa wali sanga ini memiliki pemahaman bahwa Islam adalah agama yang Transformatif yang bisa berakulturasi dengan budaya masyarakat di wilayah penyebarannya masing-masing. Oleh karena itu Keraton harus mampu menjadi ujung tombak dan juga pusat dakwah ajaran Islam di wilayah kekuasaannya.

B. Arsitektur dan Interior

Apabila kita perhatikan ruang luar Keraton Kesepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpaduan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan Patung Singa dihalaman muka, Furnitur dan meja kaca gaya Perancis tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan Pintu Kayu model ukiran Perancis yang menampakkan gambaran kosmopolitan Keraton Kesepuhan yan tersimpan dalam musium Keraton.

Kegemaran Kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan arsitektur model Eropa yang mengisi bagian dalam Keraton Kesepuhan. Perhatikan bagaimana model dan ukiran ruang pertemuan sultan dengan para menteri yang di buat dengan model hampir sama dalam interior kerajaan perancis dibawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja dan lampu gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita memperhatikan sembilan kain berwarna di latar belakang singgasana raja yang melambangkan sosok wali sanga. Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'di lokalkan'.

Hal yang menarik dari Keraton Kesepuhan adalah adanya piring-piring porselin asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di Keraton, Piring-piring porselin itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.

C. Koleksi Musium

1. Musium Benda Kuno

Musium ini menyimpan barang-barang kerajinan, diantaranya ;
a) Seperangkat Gamelan Degung persembahan dari Ki Gede Kawungcaang Banten tahun 1426.
b) Seperangkat Gamelan berlaras Slendro dan Wayang Purwa dari Cirebon tahun 1748 peninggalan Sultan Sepuh IV.
c) Seperangkat Gamelan Sekaten persembahan dari Sultan Demak ke III (Sultan Trenggono).
d) 4 buah rebana peninggalan Sultan Kalijaga tahun 1412 dan Genta (bel) yang di namai Bergawang.
e) Rak berisi beberapa buah tombak untuk khotbah.
f) Di sudut ruangan ada satu set meja kursi hitam model Eropa.
g) Vitrin I: Berisi Pagoda Graken untuk tempat jamu, Peti Kandaga dari Suasa tempat perhiasandan Kaca Rias semua peninggalan tahun 1506.
h) Vitrin II: Berisi tempat tinta dari cina tahun 1697, Ani-ani untuk potong padi, Gelas minum dari VOC tahun 1495,dan alat upacara Raja.
i) Vitrin III: Berisi 24 buah baju logam disebutHarnas/Malin juga disebut Baju Kere dari Portugis tahun 1527.
j) Vitrin IV: Berisi Kujang, Cundrik Pedang dan Trisula.
k) Vitrin V: Berisi beberapa buah mata tombak, dll.

2. Musium Kereta

Di sebelah timur Taman Bunderan Dewan Daru berdiri bangunan untuk tempat penyimpanan Kereta Pusaka yang dinamakan Kereta Singa Barong.

Di dalam musium Kereta juga terdapat 2 buah Tandu Jempana dari Cina, persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten Tan Boen Wee tahun 1676. Tandu Jempana ini untuk Permaisuri dan Putra Mahkota. Tandu Garuda Mina di buat pada tahun 1777 di gempol Palimanan, tandu ini di pergunakan untuk mengarak anak yang mau di khitan. Juga terdapat pedang-pedang dari Portugis dan belanda, 2 buah meriam dari Mongolia pada tahun 1424 yang berbentuk naga. Di belakang Kereta terdapat tombak-tombak panjang berbendera kuning yang disebut Blandrang. Juga terdapat Tanggul Gada atau Tanggul Manik sebagai lambang pengayoman. Dan juga seperangkat Angklung Kuno persembahan dari masyarakat daerah Kuningan.

D. Urutan-urutan Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon

Keraton Kesepuhan Cirebon mempunyai bangunan-bangunan bersejarah dengan urutan Baluarti Keraton meliputi Alun-alun yang fungsinya untuk apel besar dan baris berbaris para prajurit juga pentas perayaan negara, Masjid Agung yang di pergunakan untuk ibadah dan kegiatan Agama, Pancaretna, Panca Niti, Kali Sipadu , Kreteg Pangrawit, Lapangan Giyanti, Siti Inggil, Pengada, Kemandungan, Langgar Agung, Pintu Gledegan, Taman Bunderan Dewan Daru, Musium Benda Kuno, Musium Kereta, Tugu Manunggal, Lunjuk, Sri Manganti, Kuncung dan Kutenegara Wadasan, Pringgandani, Langgar Alit, Jinem Arum, Kaputran, Bangsal Prabayaksa, Kaputren, Dalem Arum, Bangsal Agung Panembahan, Pungkuran, Dapur Mulud, dan juga Pamburatan.


Diposkan oleh Rizki Dinda Permatasari

Keraton Kanoman

Keraton Kanoman adalah pusat peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.

Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepak bola.

Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.

Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.

Sejarah Kacirebonan

Keraton Kacirebonan adalah Keraton yang ke tiga dan termuda terkecil di Cirebon. Keraton Kacirebonan terletak di Jalan Pulasaren No. 49 Cirebon. Keraton Kacirebonan walaupun secara fisik merupakan Keraton terkecil di Cirebon namun didalamnya terdapat berbagai khasanah budaya, yang dipimpin seorang sultan sebagai pemangku adat turun temurun.
Latar belakang lahirnya Kecerbonan, sebelum menceritakan Kacirebonan berawal dari kehadiran penjajah di bumi Cirebon sejak tahun 1681 setelah mengadakan perjanjian Cirebon dan Kompeni. Belanda berhasil mengatur , memperlemah bahkan memperalat kedudukan kasultanan di Cirebon dalam rangka untuk mencapai tujuan untuk kepentingan-kepentingan Belanda ( compagnie ). Keraton merupakan posisi yang strategis dan merupakan simbol kekuasaan lokal tentunya sangat dipatuhi oleh rakyatnya.
Lama-lama kehadiran kompeni di bumi Cirebon dirasakan sangat tidak menguntungkan rakyat Cirebon bahkan menyengsarakan rakyat. Peralihan pemerintahan dari Kompeni ( VOC ) ke Hindia Belanda tidak jauh berbeda.
Kebijakan tak popular penjajah seperti penindasan, perbudakan, pajak yang mencekik, pemerasan dan sebagainya membuat kebencian rakyat terhadap kaum pendatang dan kroni kroninya, akibatnya memunculkan pergolakan-pergolakan /penentangan rakyat bahkan pemberontakan bersenjata.

Penentangan dari dalam Keraton memicu pemberontakan

Penentangan-penentangan tidak hanya datang dari luar, tetapi dari dalam Keraton sendiri. Hal ini terjadi di dalam Keraton Kanoman. Pada masa Sultan Anom IV Muhammad Khaeruddin telah memperoleh tekanan yang kuat untuk menyetujui cultuurstesel ( Taman Paksa ), namun rencana Belanda tidak mulus dan mendapat rintangan dari pada putra-putra Sultan sendiri seperti Pangeran Raja Kanoman. karena dalam perkara ini dianggapnya bertentangan dengan hati nurani rakyat Cirebon. Belanda menyikapi bagi para penentang dengan tindakan tegas baik berupa hukuman, penjara ataupun pembuangan. Apa yang dilakukan Belanda terhadap Pangeran Raja Kanoman. Belanda semena-mena mengatur dan mempengaruhi hak-hak internal keraton yakni mencabut hak waris dari pada Pangeran Raja Kanoman dan saudara-saudaranya ( Pangeran Raja Kabupaten, Pangeran Raja Laut ), hal ini menimbulkan konstelasi ( suasana ) politik di Keraton menjadi panas , sehingga setelah wafatnya Sultan Anom IV timbulnya banyak timbul perselisihan.
Setelah mendapat perlakuan semena-mena dari Belanda Pangeran Raja Kanoman banyak berada diluar tembok Keraton tanpa menghiraukan tahtanya dan lebih suka bergabung dengan para ulama untuk belajar mendalami Islam. Salah satu ulama yang bersahabat dan termasuk gurunya adalah Mbah Muqoyyim pimpinan dari pondok pesantren Buntet ( Mufti Keraton Kanoman yang keluar dari Keraton akibat tidak setuju dengan kehadiran Belanda di Keraton ). Kehadiran Pangeran Raja Kanoman ditengah masyarakat mendapat sambutan hangat dari rakyat dan ulama. Rakyat menyikapi dengan rasa haru simpati terhadap pangeran Kanoman dan , sangat marah kepada Kaum penjajah. Permasalahan ini memotivasi masyarakat untuk melakukan pemberontakan ( perlawanan ).
Efek keadaan yang panas di internal Keraton dan bercampur dengan ketidakpuasan rakyat mengakibatkan Kekacauan, pemberontakan terjadi dimana-mana, pada tahun 1802 banyak para tuan tanah yang sewenang-wenang kepada rakyat dikejar-kejar dan dibunuh akibat rasa dendam pada kaum penindas .

Pangeran Raja Kanoman dibuang di Ambon

Kekhawatiran Belanda sangat tinggi atas keberadaan Pangeran Raja Kanoman bersama rakyat, karena ketenarannya dapat menyulutkan pemberontakan. oleh karena itu Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap dan diisolasi. Akhirnya Belanda melakukan penangkapan kepada Pangeran Raja Kanoman, sebelum melakukan penangkapan terjadi pertempuran sengit antara pasukan santri dan Belanda, banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak namun Belanda dengan kekuatan yang besar mampu mengatasi pasukan santri yang dipimpin Mbah Muqoyyin. Pesantren Buntet dibakar oleh Belanda Mbah Muqoyyim lolos dari penyergapan dan Pangeran Raja Kanoman dapat ditangkap di Pesawahan dan dibawa ke Batavia pada tahun 1804 bersama pengikut-pengikut lainnya ( Raja Kabupaten dan Raja Laut )
Rakyat berbondong-bondong memberanikan diri kepada Tuan Residen memohon Pangeran Raja Kanoman untuk dibebaskan dan dikembalikan, namun Residen tanpa menghiraukannya bahkan para penuntut mendapat hukuman dera. Ribuan rakyat Cirebon secara diam diam berangkat ke Batavia untuk mengajukan usul kepada Gubernur Jenderal, namun belum sampai ke tujuan Rakyat dihalau di Kerawang dengan kekerasan. Pangeran Raja Kanoman dan saudara-saudaranya dibuang di Ambon ( Veth 1878:546:Stapel 1940 : 25 ).

Kekacauan di Cirebon memberikan Ujian bagi Belanda , kerugian sangat besar, bahkan berdampak pada kewibawaan para Sultan diinjak-injak dan laskar bersenjata menyebabkan seluruh daerah Cirebon tidak aman. Untuk mengatasi keadaan itu Pemerintah di Batavia mengirim Walbeekk pada tahun 1805 sebagai Komisaris bersama Prajurit tetapi tidak dapat berbuat banyak karena pasukannya sangat sedikit. Ia dan Pasukannya menghindar dan kemudian melarikan diri. ( Engel Hard, 1816:102 ).
Situasi pemberontakan semakin lama semakin bertambah gawat oleh karena itu pemerintah Batavia pada tahun 1806 mengangkat Gubernur Jawa Tengah sebelah utara ( Gouverneur der Noordooskust ) , Nikolas Engelhard menjadi Commisaris untuk Cirebon. Dalam melaksanakan tugasnya, ia memanggil bala bantuan dari pasukan orang-orang Madura dengan kepala pasukan Mangku Adiningrat putra Bupati Bangkalan namun tetap tidak dapat mengatasi masalah.

Pengangkatan Pangeran Raja Kanoman sebagai Sultan yang ke tiga memuaskan rakyat Cirebon

Dengan posisi yang serba sulit akhirnya Engelhard memutuskan untuk mencoba jalan damai gencatan senjatapun dilakukan. Akhirnya dalam suatu perundingan pada tanggal 28 Agustus 1806 dicapai suatu kesepakatan diantaranya pemanggilan kembali Pangeran Raja Kanoman dan disamping itu permohonan untuk dipulihkan kembali hak-hak kesultanannya yang hilang sejak keputusan kompeni pada tahun 1762 yang merugikan atau hilangnya hak waris Pangeran Raja Kanoman.
Pengangkatan Raja Kanoman oleh Engelhard dipandang sebagai syarat yang amat diperlukan untuk memuaskan rakyat Cirebon sebagai wakil yang sah dari keturunan raja-raja yang sangat tua. Pada 1807 Raja Kanoman dikembalikan dari Ambonia Maluku, pada masa Gubernur Jendral Daendles , Pangeran Raja Kanoman dilantik sebagai Raja ( Sultan ) yang ke tiga dengan sebutan Sultan Carbon Amirul Mukminin Mukhammad Khaeruddin dengan Surat Keputusan 13 Maret 1808 dan diperkenalkan secara khidmat kepada rakyat Cirebon pada tanggal 25 Maret 1808. Adapun Sultan Carbon yang baru ini meneruskan Sultan Kacirebonan yang dihapus oleh Belanda pada tahun 1768, dan atas izin Sultan Sepuh Joharuddin (pernah menantu dari pada Pangeran Raja Kanoman ) ia menempati fisik Bangunan di Sunyaragi.
Atas dorongan Para Ulama berharap Sultan carbon yang baru mendapat 1000 cacah milik Panembahan Cirebon yang wafat pada tahun 1773 dan punggel( tidak diteruskan ) karena tidak punya putera laki-laki. Sultan Carbon ( Kacirebonan ) mempunyai wilayah kekuasaan batas kali sukalila sampai perbatasan Kadipaten, utara sampai batas kali bengawan wetan, Kulon termasuk kandanghaur dan kabupaten Indramayu.
Pengangkatan Raja Kanoman sebagai Sultan Kacirebonan dalam perjalanannya tidaklah mulus, bukan pemberian yang ikhlas , karena Belanda masih menimbang-nimbang, karena ia bekas pemberontak sehingga timbullah pembatasan-pembatasan hak kekuasaannya, ia tidak diperkenankan meneruskan tahta Sultannya kepada turunannya alias hanya pada dirinya sendiri ( Sepanjenengan Kiwala ). Pemerintah selalu mengawasi gerak geriknya, benar saja apa yang terjadi Pangeran Raja Kanoman merupakan orang yang keras kepala ( sukar diajak kompromi/kerjasama dengan pihak Belanda), pergolakan di masyarakat sukar diredam Hal ini mengakibatkan kerugian pada hasil bumi dan Belanda berang terhadap raja raja Cirebon terkhusus pada Sultan yang baru ( Raja Kanoman ). Pemerintah mengatakan bahwa penobatan Raja Kanoman merupakan hal yang sia-sia Daendels kini dengan sungguh-sungah akan berusaha mengurangi kekuasaan para Raja ( inlandsche Vorsten ) ( Veth 1878 : 556 ). Ketiga Sultan Cirebon menjadi Ambtenaren Van Zijne Majesteit den Koning Van Holland ( pegawai Sri baginda Raja Holland ) dan pemerintah mengeluarkan Reglement 1809 yang mengatur pengelolaan daerah Cirebon.

Sultan Carbon Kacirebonan Amiril Mukminin Wafat tahun 1814

Pemerintah setelah melakukan reorganisasi tetap mendapat tentangan keras dari pada para pemberontak tak terkecuali Pangeran Raja Kanoman, akhirnya Belanda melakukan tindakan tegas yaitu Daendles memecat Pangeran Raja Kanoman pada tanggal 2 Maret 1810.
Dalam kondisi tertekan hidupnya dan tetap tegar pada pendiriannya Pangeran Raja Kanoman Sultan Carbon Kacirebonan Amirul Mukminin wafat pada tahun 1814 Masehi. Estafet Kepemimpinan Sultan Carbon dilanjutkan oleh Permasuari Ratu Sultan Gusti Resminingpuri yang diizinkan oleh Belanda. Ratu Resminingpuri memindahkan Keraton dari Sunyaragi ( pedalemannya disebelah selatan balong tirtawibawa ) ke jalan Pulasaren pada tahun 1815, kemudian setelah putranya dewasa diserahkan kepada Raja Hidayat dengan gelar Raja Madenda. Demikian sejarah Keraton kacirebonan

Catatan tambahan tentang Pangeran Raja Kanoman dan Gelar Raja Raja di Kacirebonan.

Ikhwal dari pada Putra mahkota Keraton Kanoman, Pangeran Raja Kanoman, yang terlahir pada Malam Jum,at 13 Romadon 1679 Tahun Jawa dari Rahim seorang Ibu Permesuari Ratu Sultan Gusti ( istri dari Sultan Khaeruddin Sultan Anom IV).. Pangeran Raja Kanoman diusia muda belasan tahun sangat ulet menimba berbagai ilmu terutama ilmu agama dan mudah bergaul dimasyarakat. oleh karena itu ia sangat dicintai oleh kalangan rakyat dan para kiayi. Rakyat banyak menaruh harapan kepada Sang Pangeran kelak kalau menjadi pemimpin, karena rakyat sudah jemu dengan penderitaan, akibat ulah penjajah yang mencengram di tanah Cirebon. Rupanya Belanda sudah mengamati gerak gerik Pangeran Raja Kanoman sejak usia kanak-kanak atau remaja. Wajar Belanda mempunyai kekawatiran yang berlebihan karena diusia remaja pun Pangeran Raja Kanoman sudah mempunyai banyak pengikut.
Belanda menekan Sultan Khaeruddin IV tidak memberikan hak waris trah Keraton kepada Pangeran Raja Kanoman keputusan Belanda tahun 1762 M. Pada tahun 1762 Belanda mulai menciptakan Bara pergolakan-pergolakan di masyarakat maupun di internal Keraton. Bara memanas setelah Sultan Anom IV wafat pada tahun 1797 M.
Adapun Gelar di Keraton Kacirebonan sejak Pangeran Raja Kanoman naik tahta adalah Sultan Carbon Amiril Mukminin Mohammad Khaeruddin namun mendapat penekanan dari Belanda Sultan hanya pada dirinya sendiri. Gelar selanjutnya yang diberikan putranya Pangeran Raja Hidayat adalah Pangeran kemudian setelah menjadi tampuk pimpinan menjadi Raja Madenda ( sederajat dengan Sultan ), sama halnya dengan Pangeran Dendawijaya putra dari Raja Madenda mendapat Gelar Raja Madenda, kemudian Pangeran Dendawijaya mempunyai putra bernama Pangeran Raharja Madenda ( Partaningrat ) mendapat gelar Pangeran kemudian menjadi Hoofd de Familie Kacirebonan, kemudian Pangeran Raharja Madenda mempunyai putra bernama Pangeran Raharjadireja ( Kakak ) yang kemudian menjadi Hoofd Sultan Familie /Sultan Kepala Keluarga Kacirebonan, kemudian Pangeran Raharjadireja mempunyai putra bernama P. Sidik Arjadiningrat mendapat titel Pangeran.

Keraton Kacirebonan mendukung tegaknya Negara NKRI.

Pada masa Pangeran Raharjadireja 1931 s/d 1950 terdapat masa penjajahan jepang dan revolusi fisik. Pada masa Sultan Famili Raharjadireja ( penerus tahta Kacirebonan yang ke V ) Keraton mulai memulai mengadakan gerakan dibawah tangan dengan membantu para pejuang, veteran dan tentara pelajar dalam tegaknya Negara NKRI. Keraton Kacirebonan membantu logistik bagi para pejuang bahkan sebagai tempat pertemuan-pertemuan. Keraton menggalang dukungan dari kalangan abdi dalem bahkan PMM Amir Natadiningrat aktif sebagai tentara pelajar.

Keraton Kacirebonan bergelar Sultan Kacirebonan

Pada tahun 1950 Sultan Famili Kacirebonan Raharjamadenda wafat. Sejak sekitar tahun 1949/50 Belanda sudah angkat kaki dari bumi Indonesia dengan sendirinya peraturan hemegoni sang Penjajah tidak berlaku lagi. Seiring dengan tegaknya Negara Republik Indonesia maka Keraton berada pada naungan Negara Republik Indonesia sebagai Asset Tinggalan Budaya, tetapi symbol-simbol Keraton tetap dipelihara hanya sebatas Pemangku Adat dan symbol Budaya yang dilaksanakan sesuai dengan otonomi masing-masing Keraton. Penerus tahta setelah Raharjadireja Wafat 1950 dilanjutkan oleh Pangeran Sidik Arjadiningrat kemudian dilanjut oleh Pangeran Harkat Natadiningrat kemudian dilanjut oleh PMM Amir Natadiningrat dan saat sekarang dipimpin oleh Pangeran Abdul Gani Natadiningrat. Sejak jaman Pangeran Rahajadireja dan Pangeran Sidik Arjadiningrat jumeneng mulailah pemberontakan-pemberontakan muncul kepada penjajah. Pada saat itulah istilah Sultan muncul kembali karena berpaku kepada pendirian awal yakni atas dasar keinginan rakyat bahwa Pangeran Raja Kanoman adalah Sultan yang ketiga.

Peran Sunan Gunung Djati DALAM Dakwah Dan Sosial Budaya kosmologi Jawa

seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, menurut van Bruinessen (1999:42), pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat “angker” lainnya tidak hanya diziarahi sebagai “ibadah” saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias mencari kesaktian dan legitimasi politik. Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah lah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama—selain untuk berziarah, ibadah haji, juga menuntut ilmu agama Islam, meskipun penuh dengan berbagai resiko. Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Mekkah dan Madinah, tetapi orang Asia Tenggara mencarinya di tanah suci ini.

Masa Sunan Gunung Djati Berguru Agama Islam

SUNAN Gunung Djati (SGD) historis mungkin memang pernah, atau mungkin juga tidak, mengunjungi Mekkah dan Madinah. Namun laporan tentang usahanya menuntut ilmu di sana, terlepas dari kebenaran historisnya, memberikan beberapa isnformasi berharga tentang Islam Indonesia abad ke-17 (Bruinessen, 1999:223). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Cirebon edisi Brandes (BC-Br) diceritakan bahwa SGD belajar kepada Najmuddin al-Kubra, dan kemudian selama dua tahun belajar kepada ‘Athaillah al-Iskandari al-Syadzili di Madinah—yang menurut Bruinessen (1999:224) dia menerima pembai’atan menjadi penganut tarekat Syadziliyyah, Syattariyah, dan Naqsyabandiyah.

CPCN halaman 31 baris ke lima sampai dengan halaman 32 baris ke empat menjelaskan.

…/ i telasira Sarif Hidayat yuswa

taruna akara ruwang dasa warsa ya dharmestha

muwang hayun dumadi acariyeng agama Rasu-

l / mathang ika lunga ta ya ring Mekah//

engke sira maguru ring Seh Tajmuddin a-

l-Kubri lawasiara ruwang warsa / irika ta

ya ring Seh Ataulahi Sajili ngaranira

kang panutan Imam Sapi’I ika / ri huwus la-

wasira ruwang warsa // I telas ika

Sarip Hidayat lunga umareng kitha Bagda-

Dengke sira maguru tasawup Rasul /

Lawan tamolah ing pondhok (w) wang pasanak rama-

Nira / sampun ika kretawidya tumuli

mulih (a) ring nagarinira // (Atja, 1986:128)

Terjemahan (Atja, 1986:165)

…/Setelah sarip Hidayat berusia

remaja, kira-kira dua puluh tahun, ia seorang yang

saleh dan berhasrat menajdi guru agama Is-

lam. Oleh akrena itu ia pergi ke Mekkah. Di

sini ia berguru kepada Seh Tajmuddin al-

Kubri, lamanya dua tahun. Setelah itu ia (berguru)

Kepada Seh Ataulahi Sajili namanya,

yang penganut Imam Sapi’i, lamanya

Dua tahun, sehabis itu

Sarip Hidayat pergi menunju kota baghdad.

Di sini ia berguru tasawuf Rasul

Dan tinggal di pondok paman ayah-

Nya. Setelah pelajarannya selesai, kemudian

Ia kembali ke negerinya…

BC-Br pupuh ke tigabelasa Kinanti, bait pertama dan kedua (Brandes, 1911:66) juga menginformasikan hal yang sama.

Siad Kamil loentaipoen

Njanteri ing Sjech Agoeng Wacil

Ana ing negara Mekah

Ingkang nama Sjech Tajmoe’ddin

Al-Koebri Molana Akbar

Sampoen toetoeg anglebeti

Be’at dzikir lawan soeghoel

Moesafahah lawan talqin

Woes ing sampoerna abe’at

Noeli ika njanteri maning

Maring Sjech agoeng nama

‘Ata’oellahi Sadzili

Terjemahan:

Said Kamil berangkatlah

Belajar di Syekh Agung

Yang ada di negara Mekah

Yang bernama Syekh Tajmuddin

Al-Kubri Molana Akbar

Telah masuk

Baiat, zikir, sughul,

musafahah, talqin

telah sempurna baiat

lalu berguru lagi

kepada Syekh Agung yang bernama

Atau’llahi Sazili

Jarak ruang dan wktu yang memisahkan SGD dengan orang-orang yang dikatakan gurunya, Ibn ‘Athaillah Sadzili dan Najmuddin al-Kubra menimbulkan kronologis yang a-historis dari sumber di atas. Sebab hasil penelitian Bruinessen (1999:224) menyebutkan bahwa Ibn ‘Atha’illah adalah orang terkemuka di Mesir pada abad ke-13 dan bukan di Madinah pada abad ke-16. Demikian juga Najmuddin al-Kubra, bahkan lebih jauh lagi; Kubra menyebarkan ajarannya di Khawarizm (Asia Tengah dan wafat di sana pada tahun 1221. Munculnya kedua nama ini dimungkinkan karena tarekat Syatariyah dan Naqsabandiyah telah tersebar ke Nusantara selama abad ke-17 melalui Madinah, dan sangat mungkin bahwa tarekat Syadziliyah pun menyebar pada masa yang sama. Nama-nama tersebut muncul menunjukkan adanya pengetahuan yang cukup memadai tentang Kubrawiyah, tarekat yang dihubungkan dengan nama Najmuddin al-Kubra.
Hipotesis paling sederhana yang diajukan Bruinessen (1999:225) menerangkan rujukan-rujukan kepada tarekat Syatariyah, Naqsabandiyah, dan Kubrawiyah yang muncul dalam naskah-naskah tradisi Cirebon sejauh ini adalah bahwa lingkungan istana, yang darinya teks-teks tersebut berasal, pada abad ke-17 sudah berkenalan dengan berbagai tarekat melalui seorang atau lebih murid al-Syinawi atau penggantinya—mungkin orang Indonesia asli yang menunaikan ibadah haji atau orang luar yang datang ke Indonesia.
Dalam tradisi babad di Jawa Barat (Cirebon dan Banten), Syekh Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang SGD. Kronika Banten dan Cirebon memberikan, dalam bentuk yang sedikit berbeda, silsilah yang telah disingkatkan sebagai berikut:

Nabi Muhammad saw.

Ali dan fatimah

Imam Husain

Imam Zainal Abidin

Imam Ja’far Shadiq

Syekh Zainal Kubra (atau Zainal Kabir)

Syekh Jumadil Kubra

Syekh Jumadil Kabir

Sultan Bani Israil

Sultan Hut dan Ratu Fatimah

Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Djati)

Silsilah ini terdiri dari sejumlah bagian yang terpisah. Bagian pertama menyebut keturunan langsung dari Nabi Muhammad sampai Imam Syi’ah yang keenam, Ja’far Shadiq (yang ayahnya, Imam kelima, Muhammad al-Baqir, tidak disebut dalam satu versi pun) dimulai dengan nama-nama ini, demikian pula silsilah semua sayyid dari Hadramaut; yang mencolok Ja’far juga merupakan Imam terakhir yang disebut dalam silsilah tertentu.
Bagian terakhir dari silisalh tersebut menyebut dua orang raja yang menguasai negara muslimmitologis (kadang-kdang dinamakan Mesir); nama mereka nampaknya menunjukkan hubungan eksplisit dengan kenabian pra-Muhammad. Hud adalah nama nabi ‘Arab” pertama yang disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi nama ini juga terdapat dalam al-Qur’an sebagai kata benda yang mempunyai arti majemuk yang dipakai untuk menyebut orang Yahudi; Bani Israil, “keturunan Israi’”, serupa dengan istilah yang dipakai untuk menyebit orang-orang Yahudi, yang kadang-kadang mencakup juga kaum monoteis lainnya. Karena itu kedua nama tersebut juga berarti “penguasa umat Yahudi”. Bagi Bruinessen (1999:237) nama Jumadil Kubra barangkali hanyalah pengkoreksian terhadap nama Jumadil Kubra, sebagaimana juga nama Jumadil Akbar dan Jumadil Makbur. Nama Jumadil Kubra merupakan satu-satunya yang dapat dikemukakan dalam berbagai kepustakaan Jawa.
Kebenaran historis tentang nama-nama guru yang didatangi SGD sebagaimana tercantum dalam naskah-naaskah tradisi Cirebon nampaknya sulit untuk dibuktikan, di samping tidak ada kesaksian lain—kecuali CPCN dan naskah-naskah tradisi Cirebon—juga masa hidup SGD dengan para gurunga terpaut jauh ke belakang. Namun, terlepas dari nama-nama gurunya, naskah-naskah tradisi Cirebon memberikan informasi lainnya, yakni setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, dia berniat dengan sungguh-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu, dia lalu berangkat ke Mekkah, lalu pergi ke Bagdad untuk belajar tasawuf dan tinggal di pondok bersama kerabat ayahnya. Setelah tamat ia kembali ke negerinya, lalu pergi ke tanah Jawa melalui Gujarat dan Samudera Pasai untuk menyebarkan agama Islam di negeri leluhur ibunya, Cirebon.

Sejarah Singkat Cirebon

Sejarah Singkat Cirebon
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya. Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api. Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut. Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana. Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang) Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati. Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran. Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.(dikutip dari www.kabcirebon.go.id)

Macan Ali


“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti bentuk piktogram stilasi dari “Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan Kaca seniman Cirebon, tulisan arabnya berbunyi: “thoyibah laa ila ha illallah”.

Hubungannya dengan Sayidina Ali, berdasarkan cerita ringkasnya karena Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) keturunan ke 17 dari Sayidina Ali, ke 18 dari Rasulullah, karena di depan namanya memakai Sayid Syarif, nasab dari Husein.

Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi macan. Keratonmemberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda. Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja.

Tandanya Cirebon bahaya adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gn.Jati yang berlapis emas raib…terbang… atau bergoncang. Pasukan ini berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja.

Menurut cerita lain kalau bulan Mulud suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati). Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda, menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang.
Tiap anggota punya nama dan pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng…..”

Cerita yang lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama Singha Barwang Djalalullah (kalau tidak salah ucap), yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Dari seorang kenalan banyak didapat informasi perihal pelacakan ini, termasuk ke sumber informasi yang secara moril masih berstatus sebagai seorang Adipati Kraton. Awalnya sumber yang tinggal di daerah utara Cirebon tersebut enggan mengutarakan, namun setelah mengenal lebih dalam mengenai pribadi tentang diri dan keluarga barulah beliau mau mengutarakan lebih lanjut.


Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.


Pakaian yang bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian harus hening dan sedikit penerangan. Tapi sayang tidak bisa didokumentasikan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.

Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah karena memang masih ada hubungan trah.


Dari semua pembicaraan, ternyata yang paling mengesankan adalah tentang beladiri yang dipakai Pasukan Khusus itu, yaitu Gerak Gulung Pajajaran. Ketika dikonfirmasi mengenai kesamaannya dengan Gerak Gulung Budi Daya yang di Bogor, beliau mengatakan memang masih satu rumpun.

Cikal Bakal Arane Daerah Ning Cirebon

“ Trusmi “-

Pangeran Cakrabuana : “Hmm...(sambil menghela nafas...) akhirnya aku sampai juga di pedukuhan ini..., disini aku nanti akan menyebarkan agama islam. Oh ya, aku ingat kalo tidak salah dipedukuhan ini aku memiliki cucu, Pangeran Manggarajati atawa bung Cikal, hm...ingin rasanya aku segera bertemu dia....”

Setelah menetap disebuah pedukuhan yang jarang penduduknya dan belum memiliki nama, Pangeran Cakrabuana dengan menggunakan jubah kyai sambil menyebarkan agama Islam.
Dalam proses penyebaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana menggunakan langkah-langkah dengan bercocok tanam.
Kedatangan Pangeran Cakrabuana ke pedukuhan juga untuk mengasuh putranya yang bernama Pangeran Manggarajati atawa Bung Cikal yang merupakan putra pertama Pangeran Carbon Girang. Konon, kesaktian Bung Cikal terlihat sejak ia masih kecil.
Suatu ketika, Pangeran Cakrabuana menasehati Bung Cikal.
Pangeran Cakrabuana : “Cung...tulung aja sok ngerusak tanduran. iku tanduran kan wonten manfaate kangge kabeane...”
Nasehat yang disampaikan oleh Pangeran Cakrabuana tidak pernah dihiraukan oleh cucunya itu. Selalu saja kebiasannya merusakan tanaman Pangeran cakrabuana kerap dilakukan. Akan tetapi suatu keajaiban sering terjadi, tanaman yang dirusak oleh Bung Cikal selalu tumbuh dan bersemi kembali.
Lama-kelamaan, pedukuhan tersebut diberi nama Trusmi yang berasal dari terus bersemi. Pangeran Cakrabuana pun dikenal dengan nama Mbah Buyut Trusmi.

Filosofi Topeng Cirebon

Filosofi Topeng Cirebon
Oleh Prof. Drs. JAKOB SUMARDJO SUDAH lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)? Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda. Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain. Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya. Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya. Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja. Di zaman mana? Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja). Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton. Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman. Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini. Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal. Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba. Mengandung semua sifat ciptaan Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao. Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan. Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu. Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua). Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya. Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja. Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan. Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon. Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan. Dari:

Masjid Merah Panjunan Cirebon- Wali Songo Menggunakannya untuk Menyebarkan Agama Islam

Masjid Merah Panjunan Cirebon- Wali Songo Menggunakannya untuk Menyebarkan Agama Islam
Dilihat dari luar, Masjid Merah Panjunan sangat menarik perhatian, terutama bagi orang yang baru pertama kali datang ke Cirebon, Jawa Barat. Warna merah bata mendominasi keseluruhan bangunan yang didirikan pada tahun 1480 ini. Masjid Merah Panjunan terletak di Kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik porselen. Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Panjunan yang adalah murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo (Sembilan Wali), penyebar Islam di Jawa. Perpaduan Arab dan Tiongkok ini tak lain terjadi karena Cirebon, yang pernah bernama Caruban pada masa silam, adalah kota pelabuhan. Lantaran lokasi masjid itu di kawasan perdagangan, sungguh tak aneh jika Masjid Merah—semula mushala Al-Athyah— tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti juga semua keraton yang ada di Cirebon. Dalam sebuah catatan sejarah yang mengacu pada Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok imigran Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang, anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial. Catatan tersebut juga menyatakan, selain untuk tempat beribadah, masjid ini juga dipakai Wali Songo untuk berkoordinasi dalam menyiarkan agama Islam di daerah Cirebon dan sekitarnya. Masjid yang konon dibikin hanya dalam waktu semalam ini lebih mirip surau karena ukurannya kecil. Kemeriahan memuncak pada Ramadhan, ketika orang, baik dari dalam maupun luar kota, berburu takjil, hidangan buka puasa, berupa gahwa alias kopi jahe khas Arab. Akan banyak orang bertanya-tanya mengapa di masjid ini juga penuh dengan ornamen bernuansa Tionghoa. Misalnya, piring-piring porselen asli Tiongkok yang menghias penghias dinding. Ada sebuah legenda bahwa keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Adanya hubungan dengan Tiongkok sejak zaman Wali Songo itu juga ditunjukkan dengan keberadaan Vihara Dewi Welas Asih, sebuah wihara kuno dengan dominasi warna merah yang berdiri tak jauh dari masjid. Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja, kemudian dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi karena menjadi masjid. Pada tahun 1949, Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati) membangun pagar Kutaosod dari bata merah setebal 40 cm dengan tinggi 1,5 m untuk mengelilingi kawasan masjid. Keunikan lain dari struktur bangunan adalah bagian atap yang menggunakan genteng tanah warna hitam dan hingga kini masih dijaga keasliannya. Namun sayangnya, beberapa keramik yang ada di tembok pagar ada yang sudah dicukil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama yang ada pada bagian pagar temboknya.

Panguragan

Panguragan adalah sebutan lain kompleks makam Nyi Mas Gandasari. Terletak di Kecamatan Arjawinangun, Cirebon. Menurut cerita, ke tempat inilah orang yang terzalimi mencari keadilan dan menuntut balas. Dengan sarana tanah yang terdapat di kompleks ini, mereka mengirim santet, teluh dan guna-guna sebagai balas dendam. Benarkah itu ?

Kompleks Panguragan memang tidak asing ditelinga para pengalap berkah, terutama mereka yang mencari keadilan dan ingin terlepas dari kesusahan. Tidak heran bila hal-hal berbau mistik amat kental dengan tempat dimakamkannya putri angkat Sunan Gunung Djati ini. Orang-orang pun berdatangan dari berbagai tempat seperti Jakarta, Bandung, Palembang, dan tempat-tempat lain di tanah air. Pada bulan Maulud (Rabiul Awal) tempat yang dikeramatkan ini berubah bagai pasar malam, penuh dengan kerumunan manusia. Mereka berdesakan untuk memasuki lokasi makam.

Panguragan secara geografis termasuk wilayah Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jabar. Konon, tempat ini selalu menjadi bahan gunjingan bagi orang-orang yang ingin mencari keadilan. Yakni mereka-mereka yang hidupnya tertindas dan ingin balas dendam. Beberapa puluh tahun lampau, nama Panguragan selalu disebut-sebut oleh kaum tertindas ini. Mereka ini masih mempercayai kekuatan gaib sebagai sarana mendapatkan keadilan, sekaligus membalas dendam.

Nama Panguragan sendiri, bagaikan hantu bagi mereka yang pernah berbuat zalim kepada sesama. Kabarnya, bila orang tertindas itu mendatangi keramat Panguragan, lalu membawa sejumput tanah dan menaburkannya dipekarangan orang yang menzalimi, maka celakalah orang itu. “Karenanya nama Panguragan amat ditakuti mereka yang pernah berbuat salah tapi belum minta maaf,(34),

Bukan hanya itu. Dulu, orang-orang di sekitar Cirebon punya pengalaman aneh. Bila mendengar nama Panguragan disebut, perasaan mereka seakan dibuntuti oleh hantu yang sangat menakutkan. Karena itulah buru-buru mereka menyebut kalimat-kalimat suci seperti istighfar, sebagai penolak balak.

Menurut kepercayaan warga sekitar, tanah yang berasal dari keramat Panguragan, bisa untuk menghancurkan usaha seseorang, atau bahkan kehidupan seseorang. Bahkan konon pula, orang yang dihancurkan kehidupannya dengan keramat Panguragan ini, dia akan menderita kehancuran itu sampai tujuh turunan. “Sangat mengerikan bila kita terkena tulah keramat Panguragan,”

Tentang kekeramatan dan kekuatan tulah tanah Panguragan ini tidak dibantah oleh juru kunci keramat Panguragan, Muhammad Jasin. “Itu bisa saja terjadi, tapi segala sesuatunya hanya atas kehendak Allah. Kalau kita tidak bersalah lantas ditaburi tanah Panguragan, Insya Allah tidak apa-apa,

Memang atas ijin Allah, tanah Panguragan punya kekuatan yang sanggup menghancurkan kesuksesan seseorang. Tapi, hati-hati, bila tanah ini disalahgunakan, justru akan terjadi kebalikannya. “Karena pada dasarnya, sebagaimana Nyi Mas Ayu Gandasari sendiri adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam dan memusuhi keangkaramurkaan serta kebatilan,”

Juru kunci keramat Panguragan mengakui bila banyak sekali orang yang salah menafsirkan tentang kekeramatan Panguragan. Banyak orang menyangka bahwa setiap orang yang kena tanah keramat Panguragan akan hancur usahanya. “Itu sama sekali salah. Jika kita berada di jalan yang benar, maka kita akan dilindungi Yang Maha Kuasa,” katanya.

Tokoh Sakti

Kekeramatan Panguragan tidak hanya diyakini oleh warga Cirebon. Bahkan orang diluar Cirebon pun meyakini kekeramatan tanah Panguragan ini. Dalam keyakinan mereka, tanah keramat Pangeragan sangat ampuh. Sedikit saja menggunakannya, bisa untuk menghancurkan orang, begitu keyakinan mereka.

Selain diyakini mereka yang ingin meminta keadilan kepada Yang Maha Kuasa, tempat keramat Panguragan ini sering dijadikan orang untuk lelaku. Mereka meyakini apa yang diingini akan cepat terkabul. Tidak jarang ada yang sampai berhari-hari munajat di tempat ini. Nah, karena banyaknya orang yang lelaku di keramat Panguragan, banyak yang mempertanyakan, siapa sebenarnya Nyi Mas Gandasari.

Menurut sejarah, Nyi Mas Gandasari adalah seorang anak angkat Sunan Gunung Jati. Setelah dewasa dan dirasa cukup usia, Sunan Gunung Jati mempersilakan sendiri untuk mencari jodoh. Namun, karena tekadnya ingin bersuamikan seorang yang lebih mumpuni darinya, maka Sunan menyerahkan sepenuhnya kehendak putri angkatnya itu.

Untuk memenuhi keinginan tersebut, Nyi Mas Gandasari mengadakan sayembara memilih jodoh. Pengumuman ini jelas sangat menarik minat para ksatria dari berbagai negeri. Hal ini disebabkan, Nyi Mas Gandasari adalah sosok wanita yang cantik, juga sakti mandraguna. Dari arena perlombaan, ternyata tak seorang pun ksatria yang sanggup mengalahkannya.

Setelah semua ksatria berhasil dikalahkan, masuklah seorang ksatria dari negari Campa. Namanya Syeikh Magelung Sakti. Kisah ksatria ini pun sungguh menarik. Dia adalah seorang pengembara sakti berambut panjang yang ingin mencari seorang guru yang sanggup memotong rambutnya. Ceritanya, sesampai ditepi kali Sukalila, Cirebon, ia bertemu Sunan Gunugn Jati yang didampingi pamannya, Pangeran Cakrabuana.

Sunan Gunung Djati inilah yang berhasil memotong rambut Syekh Magelung Sakti dengan tangannya. Setelah itu, Sunan pergi begitu saja meninggalkan Magelung Sakti. Karena merasa ada yang sanggup memotong rambutnya, Syekh Magelung Sakti bermaksud menghamba dan menjadi murid Sunan Gunung Djati. Namun Sunan terlanjur pergi dan tak berhasil ditemukan lagi.

Dalam pengembaraan mencari orang yang berhasil memotong rambutnya inilah Syekh Magelung Sakti memasuki arena sayembara yang diadakan Nyi Mas Gandasari. Pertarungan antara Nyi Mas Gandasari dengan Syekh Magelung Sakti berlangsung sengit. Namun akhirnya Syekh MAgelung Sakti berhasil mengalahkan Nyi Mas Gandasari. Wanita cantik ini merasa kewalahan menghadapi gempuran kesaktian ksatria tersebut, hingga akhirnya lari dari arena.

Ketika Syekh Magelung Sakti terus mengejarnya, Nyi Mas Gandasari bertemu dengan ayahnya Sunan Gunung Djati. Merasa sadar orang yang berada di hadapannya adalah tokoh sakti yang sanggup memotong rambutnya, Syekh Magelung Sakti menghentikan mengejar. Bahkan bertekuk lutut dihadapan Sunan Gunung Djati. Lantas dengan bijaksana, Sunan Gunung Djati menikahkan Nyi Mas Gandasari dengan ksatria itu. Sampai akhir hayat, Nyi Mas Gandasari dimakamkan di Panguragan, Arjawinangun, Cirebon. ***

Batik Cirebon Nan Exotis

Batik Cirebon Nan Exotis
Bukan seloroh semata seandainya ada yang mengatakan bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Karena tidak ada satupun daerah di Indonesia yang tidak dapat mengolah sumber daya alamnya secara tepat guna. Seperti halnya di Cirebon, daerah yang secara geografis berada di sebelah utara Jawa ini. Cirebon yang banyak menghasilkan kekayaan dari laut, sejak dahulu memang sudah dikenal dengan oleh-oleh khas lautnya, seperti terasi, kerupuk udang, abon ebi, ikan asing, dan kecap udang. Tidak itu saja, oleh-oleh lainnya yang cukup diminati adalah sirup simpolay. Sirup yang menggunakan bahan dasar gula batu ini memberikan cita rasa alami yang berbeda dengan sirup lainnya. Khas yang tak kalah menggoda adalah emping, manisan, rengginang, hingga kerupuk melarat. Dimana makanan khas tersebut tidak semata dari Cirebon, tetapi juga perpaduan dari daerah sekitar, seperti dari Plered, Indramayu, dan Kuningan. Bahkan ada beberapa modifikasi menarik yang dibuat dengan menggunakan bahan sama. Sebenarnya makanan tersebut lebih dikenal di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Namun, berkat pananganan yang piawai, seperti rasa dan penyajiannya, akan makanan ini dapat dirasakan setiap kalangan oleh toko-toko oleh-oleh yang menjamur di Cirebon. Esotikisme Batik Trusmi Tidak hanya di Yogyakarta, dan Solo saja, Cirebon juga terkenal dengan batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di desa Trusmi dalam warisan turun temurun. Sesuai dengan ciri khasnya, maka batik Trusmi juga mempunyai motif yang berbeda, yaitu kecil-kecil dan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Sedangkan pola batik yang digunakan mempunyai istilah Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum. Batik yang mempunyai gaya Keraton (klasik), Kenduruan (batik Cina), dan Trusmi ini. Menggunakan pula berbagai macam kain sebagai media dasarnya, seperti katun Pekalongan, kain Paris, sutera Indonesia (mendekati sutera asli), sutera, dan alat tenun bukan mesin. Sama seperti pembuatan batik lainnya, proses yang digunakan ada yang tulis, cetak, dan printing. Namun sayangnya, pengelolaan batik ini masih menggunakan manajemen tradisional dan kekeluargaan. Sehingga kualitas dan sistem pengelolannya masih kalah dengan Batik Yogya ataupun Solo yang lebih berkembang dan dikenal hingga ke mancanegara. Bagaimana menuju ke sana ? Kalau Anda ingin mengunjungi Desa Trusmi, letaknya di Kecamatan Weru, Plered, Cirebon. Jaraknya sekitar 15 km dari Cirebon. Sedangakan bagi Anda yang ingin menikmati makanan khas Cirebon, kunjungi Pasar Kanoman, Pasar Pagi, Jaga Satru, atau Pujagalana (Pusat Jajanan Segala Ana) sekitar Komplek Gua Sunyaragi.

Makanan & Minuman Khas Cirebon

Nasi Jamblang :
Nasi jamblang adalah nasi yang di bungkus daun jati dengan lauk pauk yang bermacam-macam seperti paru, pusu, daging, tempe, tahu disertai dengan sambel khas cirebon dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Nasi Lengko :
Nasi putih yang dipadukan dengan tempe, tahu, mentimun toge dan daun kucai yang ditaburi bawang goreng dan kecap dan bumbu kacang dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Empal Gentong :
Makanan berkuah yang bersantan di padukan dengan daging. Dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon. Kebanyakan pedagang empal gentong berasal dari Desa Battembat
Tahu Gejrot ;
Tahu yang dipotong potong di tempatkan pada piring kecil terbuat dari tanah merah dengn bumbu gula merah dan bawang merah dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Bubur Sop :
Bubur yang berisi kol, daun bawang dan tauco disertai kuah sop yang ditarubi ayam suwir sama kerupuk. dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Sate Kalong :
Sate yang berjualannya menjelang magribdan satenya dari daging kerbau
Docang :
Lontong yang dipadukan daun singkong, toge, taburan kelapa parut dan kerupuk ditaburi dengan kuah terbuat dari dage/bumbu oncom
Mie Koclok :
Mie yang berisi toge, kol, dipadukan telor ayam dengan bumbu kuah santan
Kerupuk Udang :
Kerupuk khas goreng yang terbuat dengan racikan udang dan ikan dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Kerupuk Melarat :
Kerupuk yang berwarna warni terbuat dari aci yang proses penggorengan dengan menggunakan pasir, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Kerupuk Lambak:
Kerupuk yang berwarna coklat kehitaman (warna kulit) terbuat dari kulit kerbau pilihan, dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon
Terasi Udang :
Terasi yang terbuat dari udang rebon sebagai bahan membuat sambal yang rasanya enak sekali.
Minuman Khas Cirebon
Tjanpolay :
Sejenis minuman dari sirup yang terkenal dari jaman dulu dapat diperoleh di berbagai tempat kota cirebon
Teh Poci :
Teh yang disuguhkan sejenis teko yang terbuat dari tanah liat (Poci) dan enak diminum pada malam hari dapat diperoleh : di berbagai tempat kota cirebon

Flicker Images

Ads Inside Post